KERUMUNAN JOKOWI vs KERUMUNAN RIZIEQ vs COVID-19


(Antara NTT & Jakarta) 


Rame memang. Seru. Dua harian ini banyak tulisan yang mengangkat moment kerumunan Jokowi di NTT. Dari media ternama hingga medi lokal. Dari media konvensional hingga media online. Dari media sosial hingga media praksis. Dari dunia maya hingga dunia nyata. Dari timur hingga barat. Dari politisi hingga petani. Dari driver online, hingga penjual gerobak sayuran keliling. Pokoknya seru. Viral. Enak. 


Banyak juga model kritik yang membangun sekaligus menjebak. Kritik positif sekaligus menyudutkan. Apresiasi diikuti dengan halusinasi para 'tukang jari' yang berceloteh ria di media. Ada yang kocak. Menggiring isu  seraya kritik sambil tak sadar sedang benar benar berhalusinasi. 


Apalagi Jokowi berhasil menjebak rakyat NTT? 


Menarik pula benturan isu yang mulai berguncang, ketika Jokowi di hadapkan pada kasus kerumunan Rizieq-FPI di Jakarta beberapa momen silam. Jelas dinilai sama. Sama sama tokoh, dan sama sama kerumun. Bedanya, kerumunan yang satu mulai dari Bandar Udara, dielu elukan, diteriaki, dan diarak hampir keliling kota. Benar benar disambut bak raja yang pulang berjuang membawa kemerdekaan bagi rakyat kebanyakan. 


Dan kerumunan yang satunya tak ada iring iringan. Tak ada penjemputan dari Bandar Udara. Tak ada yel yel. Bedanya, sekumpulan masyarakat berdesak desakan berjuang menghadangnya dan menyalaminya. Sungguh naas apabila ia menunggang kuda ataupun kereta kecil. Pasti akan diserbu dan dipeluk sekumpulan masyarakat itu. Ia memilih untuk mengganti mobil, mencari yang ada lubang di atapnya agar ia bisa berdiri dan menyapa masyarakat itu. Sambil membuang dan membagikan cenderamata yang tentunya telah disterilkan sesuai prokes. 


Apakah Jokowi berhasil menjebak rakyat NTT? 


Dua momen di atas mulai dianalisis oleh pakar pakat hebat di Indonesia. Mulai dari Jakarta hingga NTT. Tapi ternyata banyak yang lupa. Lupa baca atau lupa nonton televisi. Bahwa kerumunan model satu di atas, yakni model Rizieq-FPI adalah kerumunan yang terstruktur, ada bukti di grup whatsapp untuk konsolidasi massa supaya menjemput pahlawan itu. Tak percaya, buka banyak rekaman wawancara beberapa televisi swasta nasional yang menukik isu ini bahwa kerumunan itu sudah direncanakan. Nah disitulah letak kesalahan besarnya. 


Lalu, mulai disamakan deng model kerumunan Jokowi di NTT dengan membangun pola pikir atau pola rasa, bahwa apakah Jokowi tidak memperhitungkan kesedihan keluarga korban covid yang melihat kejadian itu? Mereka (para pengeritik) mulai berbicara dari sisi rasa para keluarga yang ditinggalkan oleh orang orang yang meninggalkan karena covid. Seakan memaksa kita yang membacanya untuk 'terpaksa iba dan kasian karena tulisannya'. 


Kawan, saya hanya mau sampaikan bahwa model seperti ini tidak baik. Kalau kritik mesti murni kritik. Jangan ada semacam menambah paksaan rasa supaya kami terpaksa rasa, padahal konteksnya jauh berbeda. Keluarga korban covid sudah sangat mengikhlaskan kepergian itu dengan tulus. Bukankah mereka juga tidak pernah menyalahkan dokter, atau perawat, atau keluarga lainnya? 


Apakah kerumunan Jokowi di NTT adalah hasil dari perintah supaya masyarakat NTT berkumpul? Kalau ada pembuktian pengumuman itu, maka saya sarankan semua warga NTT yang berkumpul itu diberikan sanksi karena melanggar prokes. 


Mengapa Jokowi mau berdiri dan menyapa warganya dari atas mobil? Ya, semacam etika kalau orang salam covid ke kita, tentunya kita juga akan katup kan tangan dan menunduk. Itu namanya etika publik yang wajib dijalankan oleh para pemimpin. Bukankah Jokowi berkali-kali memegang masker hitamnya untuk mengingatkan sekelompok masyarakat itu supaya tetap pakai masker? 


Akhirnya, dengan lantangnya para pengeritik mengatakan bahwa Jokowi harus dihukum karena mengundang banyak kerumunan di NTT... Hahaha, tuan, mari kita goreng jagung, jangan lupa makan dengan daun pepaya pahit, campur moke putih dan sambal Jeruk nipis untuk merayakan keberhasilan Presiden Joko Widodo sebagai presidennya orang NTT! 


Esok pagi bangun, liat lumbung padi di Sumba dan dua tiga tahun ke Maumere tuan nonton air yang meluap di bendungan. Di Sumba lumbung padi disirami air mata sebagai sumbernya. Di Maumere juga sama. Dari air mata. Air mata kebahagiaan sekelompok masyarakat yang menangis terharu ketika disapa oleh Jokowi dari Mobil terbukanya... 


Salam Sehat Indonesia Raya. Lawan pandemi dengan pemikiran pemikiran yang cerdas, bernas, dan jangan lupa; All is well, Indonesia! 

:

:

Oleh Rian Seong, S. Pd., MM

"Penyuka kerumunan... "

Komentar

  1. Jangan samakan Presiden kita dengan Rizig ..Rizig bukan siapa siapa diakan Rakyat biasa sama dengan kita..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN MERINDUKAN MANUSIA~RINDU YANG BERKECAMUK

MAMA MAMA BERBAJU BIRU||SEBUAH BALADA 60 TAHUN