Bertemu (Bertamu) di Ruang Rindu; Kisah Bersama Pujangga



Kemarin sore, tidak ada senja menemani cangkir kopi saya. Lelah seharian berlayar dari Flores, membuat saya enggan keluar rumah. Capek.

Lah, otomatis tidak bertemu senja, kan? 😂🤣😂

Saya iseng mengirim pesan singkat kepada dua sahabat yang sebulan penuh belum ngopi bersama (lagi). Mereka dua orang hebat. Potensial dan produktif. Saya sengaja mendengar cerita orang orang hebat ini untuk semacam mengisi otak saya yang masih kaku.

Mereka adalah Gusti Richarno, S. Fil, direktur Media Pendikan Cakrawala NTT, dan sahabat saya Saverinus Suhardi, S. Kep, seorang dosen dan perawat aktif. Dua duanya penulis. Sangat potensial.

Namun karena kesibukan menemani sang anak, Gibran, maka abang Saver tidak berani bolos untuk mejeng ngopi bersama. Tau kan situasi batin para suami bila keadaannya seperti itu? Menggemaskan tentunya.

Saya diarahkan ke rumahnya Kraeng Gusti, di kedinginan bukit Tilong. Tapi, beliau meminta saya untuk menemani dia bertamu ke rumah salah satu tokoh yang sangat saya kagumi. Selain bernas pemikirannya, kontribusinya di bidang seni sastra NTT tidak perlu diragukan lagi.

Beliau adalah pak Marsel Robot. Tokoh penting di UNDANA Kupang. Sastrawan NTT dan Indonesia umumnya. Penulis dan pembicara hebat. Jujur, saya benar benar bersyukur dapat kesempatan ini. Sederhana, cerdas, elegan, bernas, hip hop, kontemporer, semuanya dimiliki beliau. Unik.

Orang orang yang saya rindu untuk bertemu, ternyata dipertemukan oleh alam, ruang, dan waktu yang jauh dari keriuhan dunia.

Saya memacu 'kuda' pacu. Jalanan sangat nyaman. Sesampai di sekitar lokasi, kraeng Gusti mengarahkan lokasi, rumah bapak Marsel.

Saya membayangkan bahwa rumahnya di tempat yang sunyi, berteman bunyi musik alami, gesekan pepohonan yang asyik menemani malam, bunyi jangkrik yang mungkin bernyanyi bersama hembusan angin. Pokoknya di tempat yang sepi, lah.

Ternyata dugaan saya tepat. Istana kedamaian itu ada di pelukan remang lampu listrik temaram diantara kipasan daun Jati muda. Ah... Adem, dingin, dan syahdu.

Saya semakin kaget, ternyata di rumah bapak Marsel sudah hadir pula seorang biarawati yang intens menulis dan pemerhati pendidikan. Beliau adalah Sr. Lency Meo. Ibu kehidupan yang menyukai senja. Pelayan Kristus yang abadi. Seorang penulis. Sastrawati.

Ini seakan reuni cangkir kerinduan. Tuan rumah sudah menyiapkan 4 cangkir kopi. Tiga diantaranya sudah diseduh bibir inspirasi ketiga tokoh NTT ini, sekira seperlima cangkir. Punya saya masih utuh. Hangat dan tentunya hitam. Pas untuk mengobati dingin dinding paru yang ditiup angin jalanan.

Kami larut dalam obrolan!

Mereka asyik membahas majalah baru yang berjudul Suara Tabor, majalah rohani yang diproduksi di Paroki Tarus. Bah, sebuah paroki membuat majalah rohani? Luar biasa.

Eits, tapi jangan heran. Di sana ada ketiga tokoh ini dan juga tokoh penting lainnya yang bekerja di dunia jurnalistik.

Saya sungguh menikmati alur diskusi. Sesekali lari ke dunia pendidikan. Saya hanya tambah tambah ide tetek bengek yang sebenarnya tidak perlu, tapi sesekali mereka tertawa lepas mendengar guyonan saya.

Apakah itu tertawa kerinduan. Atau tertawa kedamaian. Atau tertawa kebahagiaan. Kami menyepakati semua bunyi malam itu adalah musik yang bisa menemani hidup dan kehidupan.

Sungguh, bertemu dan bertamu di rumah rindu, seperti manifestasi roh kehidupan itu seluruhnya. Bahwa semuanya mesti disyukuri, dirayakan, didiskusikan, dan yang paling penting adalah diimplementasikan.

***


Selepas diskusi luas itu, kraeng Gusti mengajak saya untuk mengisi kampung tengah (makan malam) di rumahnya. Kami singgah di warung Se'i Babi di pinggiran Tarus. Sungguh, aroma asapnya menambah nafsu makan. Saya firasat, pasti ada 'air kata-kata' barang satu dua sloki di rumahnya.

Kami lanjutkan cerita di rumahnya. Sambil meneguk minuman perdamaian, bercerita tentang kisah yang takkan pernah usai.

Jalani, nikmati, taklukkan, serahkan sepenuhnya pada Pemilik Kehidupan, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pada titik ini saya sangat bersyukur pada alam, ruang, dan waktu yang selalu memberikan kuliah kehidupan lewat tokoh tokoh penting seperti para pujangga di atas. Pemikiran bernas mereka benar benar mengisi relung dan lembah otak saya yang masih sempit, dan kaku tentunya!



Penulis: Marianus Seong Ndewi, S. Pd., MM
Guru Seni Budaya di SMA NEGERI 4 KUPANG. Pekerja seni, aktif di Komunitas Secangkir Kopi Kupang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERUMUNAN JOKOWI vs KERUMUNAN RIZIEQ vs COVID-19

LULUS YANG BAHAGIA WALAU HATI MENANGIS

MAMA MAMA BERBAJU BIRU||SEBUAH BALADA 60 TAHUN