KAMBING HITAM vs OPTIMISME PENDIDIKAN NTT

Dok. Cakrawala NTT - diskusi pendidikan


Catatan ini lahir setelah kemarin 10 Juni 2019, menonton dialog interaktif di TVRI NTT, yang berusaha  kerasmengupas tuntas rendahnya mutu pendidikan di tanah seluas 48.718,10 km2 ini. Saya bersyukur melewati 60 menit tanpa henti, hanya mau mendengar kisah kasih berupa ilmu dari para narasumber hebat, ahli dalam bidangnya masing-masing.

Pertama ada Bpk. Benyamin  Lola, M. Pd saat ini sebagai Kadis Pendidikan dan Kebudayaan propinsi NTT. Kedua ada Bpk. Winston Rondo, Anggota komisi V DPRD NTT (bidang pendidikan), juga ada Bpk. Dr. Marsel Robot, akademisi tangguh dari UNDANA Kupang, dan terakhir Bpk. Gusti Richarno, pengamat pendidikan dari Media Pendidikan Cakrawala NTT.

Jika melihat formasi para narasumber ini rasanya hampir lengkap, dan tentunya bernas untuk dinanti hasil akhir diskusinya.

Hanya kurang saja perwakilan pihak komite sekolah (orang tua), perwakilan kepala sekolah (ataupun guru), dan perwakilan OSIS (siswa).

Kok bisa siswa dilibatkan dalam diskusi? Emang enak kalau siswa tidak ada? Mereka kan sebenarnya biang hidupnya. Entahlah...

Karena formasi para narasumber diatas kurang lengkap, rupanya pihak penyelenggara diskusi, dalam momen ini adalah TVRI NTT belum jeli melihat peluang riuhnya dan menariknya diskusi bila 'semua' narasumber hadir. Alhasil, betul, diskusi hanya melahirkan beberapa saran, saran, dan saran. A menyarankan ini. B menyarankan ini. C, itu, dan D, ini.

Tapi, kira kira ada beberapa pendapat dan rekomendasi pemikiran yang sayang bila dibicarakan dan dilupakan begitu saja. Nanti waktu 60 menit di depan TV hanya sia sia. Baomong sa tanpa hasil yang jelas. Begitu, bukan?

Inti diskusi yang berjudul 'Setelah UN' ini sangat menarik. Walaupun judul diskusinya menimbulkan penafsiran yang ambigu, saya hanya menyimpulkan bahwa ada sebuah strategi penting yang akan dilakukan setelah Ujian Nasional.

Lantas, mengapa tunggu setelah UN? Apa hebatnya atau Apa pentingnya UN? Mengapa begitu mempengaruhi paradigma yang selalu memberikan penafsiran paradoksal bagi rakyat kebanyakan? UN itu akhir? Terkadang saya juga memikirkan hal hal ini. Apalagi NTT jadi propinsi ekor hasil rerata kelulusan, urutan 32 dari 34 propinsi di Indonesia.

Saya langsung terpana, rasanya seperti meneguk kopi panas, tegukan pertama langsung berjumpa dengan suhu air yang sangat panas. Mau dibuang kopinya, sayang. Terpaksa ditelan walau panas menderita.

Keterpanaaan saya muncul ketika narasumber pertama, Bpk. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan NTT mengeluarkan pernyataan pembuka: "Berbicara mutu pendidikan, tidak bisa hanya melihat presentasi kelulusan saja". Betul, banyak faktor di dalamnya.

Saya sepakat, karena aspek kelulusan hanya satu bagian dari 8 Standar Nasional Pendidikan saja.

Pengertian Standar Nasional Pendidikan adalah suatu kriteria atau standar minimal terkait pelaksanaan sistem pendidikan yang ada di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fungsi dari Standar Nasional Pendidikan ini adalah sebagai dasar dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas.

Sedangkan tujuan utama dari Standar Nasional Pendidikan adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat (BSNP).

Ketika diskusi ini berlangsung sampai 'alot' membahas 8 standar ini, rasa rasanya seperti menggunting asap saja, pinjam istilah Bpk. Dr. Marsel Robot, semalam. Mengapa? Karena hal ini sudah jadi pembahasan yang membosankan, artinya setiap diskusi tentang pendidikan hal-hal inilah yang dibahas.

Infrastruktur lah, guru lah, sarana lah,  prasarana lah, nilai lah, ini lah, itu lah, begini lah, begitu lah... Sama saja. Yang ada hanya saling menyalahkan.

Padahal ada satu dua kunci saja yang akan menjadi inti, core of the core.

Pertama, muncul dari pemikiran brilian Bpk. Marsel Robot, yakni perlu adanya intervensi kebijakan pemerintah yang tentunya hasil kesepakatan bersama DPRD, serta yang kedua adalah untuk meningkatkan mutu dan mengorek asal muasal luka dalam dan akut mutu pendidikan ini perlu diadakannya riset mendalam dan berkelanjutan agar rekomendasi rekomendasi muncul bagi proses intervensi  pengambilan kebijakan (keputusan) pemerintah.

"Riset ini tidak rumit. Biayanya juga tidak mahal. Cukup diambil sekolah sampel saja. Beberapa sekolah yang bermutu tinggi dan beberapa sekolah yang bermutu sangat rendah. Diberikan indikator 8 SNP, untuk mencari tau apa yang jadi keunggulan atau jadi penyebab kegagalan sebuah sekolah. Sesederhana itu. Hasilnya jadi evaluasi di tingkat penentu kebijakan selanjutnya". Nada tegas dalam dialek khas Manggarai Timur, sambil senyam senyum, itulah kekhasan pemikiran Bpk. Dr. Marsel Robot. Bernas. Ya, memang itu  salah satu inti permasalahannya.

Pemikiran bernas kedua muncul dari BPK. Gusti Richarno. Beliau berujar bahwa urusan pendidikan mesti jadi urusan semesta, dan jadikan pendidikan sebagai investasi, biar generasi bisa bergerak cepat, tanggung, ulet, dan mandiri. Otomatis jika jadi investasi, pasti akan menguntungkan dunia pendidikan itu kedepannya.

"Jangan menunggu uang atau dana dari pemerintah baru rela bekerja untuk urus pendikan. Bikin mimpi panjang dan segera realisasikan. Turun ke bawah, bantu kerja urus pendikan. Tidak perlu peduli siapa dan apa yang membuat menghambat. Kerja saja" Kira kira begitu saya menyimpulkan pemikiran pak Gusti yang cemerlang ini. Serasa ada nuansa pengabdian tanpa pamrih. Tak perlu tunggu, kerja saja. Alam, ruang, dan waktu akan membantu. Beliau juga mengajak bahwasanya ruang timpang pendidikan NTT saat ini dapat ditanggulangi dengan kegiatan literasi yang baik. Literasi adalah jalan pulang menuju NTT hebat.

Pemikiran baik berikutnya datang dari wakil rakyat, pak Winston Rondo. Beliau menyentil pendikan gratis yang hampir ditatar semua narasumber. Bahwa, untuk sesuatu yang baik dan bermutu, sebenarnya pendikan gratis itu tidak relevan. Orang tua dan masyarakat akan dininabobokan oleh kebijakan instan ini. Para siswa juga merasa enteng untuk sekolah. Kan gratis? Apalagi dengan keharusan untuk meluluskan siswa. Jadi berantakan nanti hasilnya. 

"Sebaiknya yang gratis gratis ini dijauhkan dari pembiayaan urusan pendidikan. Apa apa gratis. Ujung ujungnya tambah parah. Kita tidak bisa samaratakan seluruh Indonesia, pertimbangan karakter jadi hal utama.

Terakhir peneguhan penting disampaikan bapak kadis untuk mengajak semua stakeholder, termasuk LPMP NTT yang masih jalan sendiri sendiri, untuk duduk rembuk bersama membicarakan dan mengurus pendikan. Para kepala sekolah jangan salah kelola dana BOS. Orientasi ke mutu dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). "Bukan orientasi proyek".

Saya juga sangat terganggu, bahkan tak sanggup lagi meneruskan tegukan kopi dalam cangkir ketika mendengar pengeluhan bapak Kadis. Sedih ketika LPMP berjalan sendiri. Alhasil, model pelatihan pelatihan guru, tidak dianalisa baik, tentang guru siapa atau mata pelajaran apa yang sebaiknya ikut pelatihan. Rekomendasi itu sebenarnya hasil riset dinas untuk peningkatan mutu guru dan lain sebagainya.

Entahlah. Kalau masih jalan sendiri, entah siapa saja, kepala sekolah, bendahara, guru, siswa, komite, pemerintah, LPMP, para akademisi, pengamat, komunitas pendidikan, alhasil kambing hitam penyebab akutnya luka di ruang pendidikan NTT pasti terus ada, bernanah, infeksi, dan sulit disembuhkan.

Bila urusan ini jadi sesuatu yang luhur dan jadi urusan semesta, makan pendidikan di NTT bisa tancap gas untuk taklukkan level nasional. 

Bisa kah?





* Penulis: Marianus Seong Ndewi, S. Pd., MM
Guru Seni Budaya di SMA NEGERI 4 KUPANG. Pekerja seni, aktif di Komunitas Secangkir Kopi Kupang



Komentar

  1. = Untuk terciptanya sebuah sinergitas ( mencegah jalan sendiri2)...perlu platform gerak mutu pendidikan NTT yg menggambarkan LODOK (pinjam pola Manggarai) tugas dan fungsi masing2 mengarah ke "lodok"
    = Intervensi kebijakan seperti yg pernah saya sampaikan dalam seminar MPC bln november 2018 sangat perlu utk mem-breakdown aturan di atasnya (adaptable)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERUMUNAN JOKOWI vs KERUMUNAN RIZIEQ vs COVID-19

LULUS YANG BAHAGIA WALAU HATI MENANGIS

MAMA MAMA BERBAJU BIRU||SEBUAH BALADA 60 TAHUN