KARPET MERAH PESPARANI 2019


Catatan kaki dan hati;
dari Kota Kupang


Oleh
Marianus Seong Ndewi, S. Pd., MM
Guru Seni Budaya SMA N 4 KUPANG-
aktif di komunitas Secangkir Kopi Kupang

‘’Katong Samua Basudara”, tagline Tema Pesta Paduan Suara Gerejani (PESPARANI) Katolik tingkat Kota Kupang, yang diadakan tanggal 5-8 Nopember 2019, bertempat di Paroki St. Maria Assumpta sebagai ‘tuan rumahnya’. Acara yang diawali dengan Misa dan seremonial pembukaan ini mengundang banyak decak kagum dari para insan lintas agama, lintas budaya, dan juga lintas genre di Kota Kasih ini. Kemeriahan ini saya yakini karena tidak hanya melibatkan umat nasrani (Katolik) dalam setiap acara dan kepanitiaan, tetapi dari lintas agama lainnya juga dilibatkan. Ribuan mata, hati, dan telinga menyaksikan dan menikmati acara ini.

Musik mampu menyatukan. Musik mampu memberi pengertian. Musik mampu menyampaikan pesan. Musik mampu memberi semangat hidup yang baru. Musik memberi levitasi, untuk bisa ‘melawan’ gaya gravitasi; naik ke atas, memberi hidup, tumbuh, dan berkembang.

Musik Sebagai Levitasi

Tami Aulia: Bermusik untuk menyenangkan diri sendiri dan orang lain.

          Jika ingin menggunakan teori Victor Schauberger, tentang ‘’bagaimana mungkin buah apel ataupun air yang berasal dari akar pohon kelapa, naik ke atas, melawan gaya gravitasi (Issac Newton), hidup dan berkembang menghasilkan ‘buah’ yang berguna? Bagaimana mungkin musik mampu memberikan peran sebagai levitasi hidup (levitation force)? Apakah mungkin?

            Bahwa kehadiran music (baik vocal maupun instrumental) sudah menjadi ‘kebutuhan pokok’ bagi manusia. Secara biologis, ruang di otak dan aliran hormonal manusia membutuhkan levitasi dari music. Entah itu bunyi-bunyian, suara, ketukan ritme dari alat-alat music ritmis, hentakan kaki, bunyian pekikan khas etnik NTT, semuanya berhubungan dengan ‘tubuh manusia-jiwa dan raganya, pun kehidupan sosio-kurturalnya’.

            Namun, ini belum menjadi kesadaran jamak manusia. Masih menganggap music hanya sebagai formalitas hiburan semata. Pokoknya, yang penting nyanyi-nyanyi saja. Yang penting sudah tampil. Yang penting sudah nonton. Yang penting sudah latihan. Yang penting sudah dapat uang. Yang penting ada baju baru. Yang penting sudah juara. Yang penting sudah hebat. Yang penting sudah selesai. Yang penting selesai sudah?
             
            Manfaat yang paling penting adalah berkaitan dengan psikologis manusia. Bayu Lebond, pernah menulis pada artikelnya, yang termuat pada laman https://psyline.id tentang Musik dan Psikologi, memberikan catatan bahwa aktivitas bermusik banyak memberikan manfaat psikologis bagi manusia.

Seperti mendengarkan music bergenre heavy metal, rock and punk,rap, hip-hop, dan disco,membantu memberi semangat ekstra bagi susasana atau mood jiwa manusia untuk semangat bekerja. Spiritnya dibakar untuk lebih cepat dan bersemangat dalam beraktivitas. Ada genre yang membuat kita tenang seperti country, reggae, blues, klasikal, ataupun music meditatif. Untuk pasangan yang ingin romantic, silahkan mendengarkan music bergenre oldies atau lagu-lagu lawas (pop).

Karpet Merah PESPARANI

            Alamat lengkap penulisan artikel ini adalah kepada penonton PESPARANI Kota Kupang. Terlepas dari pelaksanaan lainnya, semisal kepanitiaan, tempat pelaksanaanya, acoustic-audio ruangan, riah-riuh hasil perlomaan (hasil penjurian), salah satu ‘titik’ yang menentukan suses atau tidaknya sebuah pementasan music (sebenarnya) ada di penonton. ‘’Bah, bukannya penonton hanya datang nonton saja, kaka?’’

Dikutip dari Buku Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama, menuliskan ada 4 peran penonton dalam setiap pagelaran seni (music); yaitu pertama, penonton sebagai apresiator. Sikap apresiatif sangat dibutuhkan. Appretiatius (Latin) yang artinya penghargaan atau penilaian. Appreciate (Inggris) melihat, menentukan nilai, menikmati, dan menyadari keindahan. Semua hal ini-pun akan tercipta dengan baik apabila para penonton sudah bergaul dengan dunia literasi (kaum literat) di bidang music.

Kedua, penonton adalah penikmat dan penilai karya seni. Ketiga, penonton mesti hadir sebagai kritikus yang mampu memberikan kontribusi yang konstruktif demi terlaksananya pementasan, pagelaran, ataupun perlombaan yang lebih baik berikutnya.
Tetapi, peran penonton ini akan benar-benar menghasilkan ‘buah’ yang baik, apabila mampu menjadi penonton yang literat, layaknya apresiator yang semuala mampu mengapresiasi diri sendiri, penilai yang harus mampu menilai dahulu diri sendiri, dan menjadi kritikus yang bisa mengkritik diri sendiri.

Tentang Karpet Merah yang dimaksudkan penulis, tidak ada hubunganya dengan area atau jalan yang memang khsusus disediakan bagi para pejabat pemerintahan semisal presiden, gubernur, bupati atau lainnya. Atau bagi para pejabat gereja semisal uskup, vikjen, imam atau lainnya. Kata karpet merah selalu ‘viral’ dalam perlombaan PESPARANI khusus bidang paduan suara. Master of Ceremony (MC) berkali-kali, puluh bahkan ratus kali, menyinggung kata karpet merah ini. ’’kami harapkan para penonton untuk tidak berdiri di atas atau di sepanjang karpet merah. Karena itu adalah area khusus bagi para fotographer dan videographer guna pengambilan gambar untuk ditampilkan (diteruskan) ke layar depan aula perlombaan. Setiap kali gambar tayangan keluar aula perlombaan pementasan pun terhalang bahkan terputus, giliran penonton di luar aula perlombaan yang ‘demo’, berteriak, rese dan rusuh.

Ruangan yang sempit ataukah memang umat yang sangat membludak tumpah-ruah, memang menarik sekaligus membahayakan sebuah pementasan. Ketika berkali-kali umat (penonton) berada di karpet merah, maka gambar tayangan ke bagian luar aula perlombaan pasti tertutup. Anehnya, ini ditegur berkali-kali. Setiap lagu. Terlalu.

Setiap mereka bergeser, pasti menimbulkan keriuhan. Penonton lain tertawa dan menegur mereka. Penonton lainnya menegur penonton yang menegur mereka yang ribut. MC menegur penonton yang menegur penonton yang ribur. Jadilah keributan yang tak karuan. Keributan berjemaah dan berserikat.

Belum lagi penonton yang selalu ribut hiruk-pikuk, berbicara, dan selalu tertawa tiap saat ‘tenang’ pementasan. Para dewan juri butuh mendengarkan dengan baik. Para penikmat seni yang literat juga mampu menikmati dengan baik. Ada yang ingin ‘berobat’ jiwanya saat mendengarkan musik itu. Sedih. Sadis. Sangat tidak mendidik apabila situasi seperti ini dibiarkan terus menerus menjadi sebuah kebiasaan yang merugikan dan berujung memalukan.

Berbeda dengan menonton pertandingan sepak bola atau pacuan kuda. Menonton pementasan paduan suara pasti punya aturan tata tertib. Wajib mentaatinya. Agar setiap apresiasi, penilaian, dan kritikan yang diberikan para juri dan penonton mampu di terima peserta.

Tentang karpet merah sebenarnya hanyalah salah satu contoh. Intinya; para penonton diajak agar menjaga iklim pementasan seni (paduan suara) dengan baik. Tugas berat menanti kita (para penonton) untuk menjadi tuan rumah PESPARANI Nasional di tahun 2020 mendatang. Siapkah kita? Apakah karpet-karpet merah lainnya perlu dibersihkan. Dijaga. Dirawat. Ditaati?

Semua wajib menjadikan ini pelajaran untuk berproses. Para imam bisa mewartakan ini di mimbar-mimbar gereja. Para guru bisa mengajarkan ini di sekolah-sekolah. Para orang tua mengajarkan ini kepada anak-anaknya; menjadi penonton yang literat, yang paham aturan tata cara bagaimana menonton sebuah pementasan atau perlombaan music. Menjaga mata, hati, dan telinga.


***

Tulisan ini pernah terbit di koran harian umum Timor Expres (Timex)

πŸŽΆπŸ‘£

           
           

             

Komentar

  1. Setuju Pa Rian alias Pa Marianus. Sy jg salah satu peserta PEPARANI dari Paroki San Petra TDM. Pada saat itu suasana penonton sangat ribut mulai dari dlm ruangan sampai di luar ruang yg sdg nonton layar lebar. Penonton belum benar sadar dan paham ttg menghargai peserta lomba dan para yuri Teman sy mau rekam video terganggu dgn hiruk pikuk suara penonton. Memang dlm sebuah perlombaan dan pertandingan penonton sangat di butuh kan.agar permainan.perlombaan atau pertandingan lebih seru dan mempunyai penilaian tersendiri dari penonton terhadap peserta lomba. Pementasan atau perlombaan tanpa penonton bagaikan sayur tanpa garam. Bagaimana perasaan seorang Peserta lomba jika yg di lombakan tdk ada yg nonton. Terasa hambar dan tidak PD rasanya percuma latihan berbulan-bulan tapi pada saat pentas tdk ada yg menonton.lebih baik tdk dapat juara dari pada tdk ada penonton Betul kan
    Cuman jika penonton tidak menghargai peserta lomba dan yuri .dan ribu dlm ruangan rasanya tidak etis dan sangat mengganggu kosentrasi. Oleh sebab itu ke depan penonton harus di beri peringatan sebelum masuk ruangan. Artinya panitia hrs tegas.buat aturan bahwa jika ribut perlombaan di batalkan atau di tunda sampai penonton benar2 diam dan tdk mengeluarkan suata. Itu usul saya. FcLoda

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERUMUNAN JOKOWI vs KERUMUNAN RIZIEQ vs COVID-19

LULUS YANG BAHAGIA WALAU HATI MENANGIS

MAMA MAMA BERBAJU BIRU||SEBUAH BALADA 60 TAHUN