KOPI NATAL



Goresan tuk umat Nasrani di Dharmasraya - Sumatera Barat




Turut berdukacita untuk pemangku kebijakan di daerahmu, saudara. Sedih hati ketika mendengar dan membaca berita bahwa di daerahmu pemerintah setempat melarang untuk merayakan Natal. Intinya jangan berkumpul untuk merayakan Natal. Baik di rumah ibadah maupun di rumah warga.

Saya sempat marah mendengarkan berita bahwa kalian dilarang merayakan Natal di tempat asalmu sendiri. Apalagi katanya sudah ada kesepakatan kedua belah pihak untuk hal ini. Saya yakin pihak kalian tidak pernah bersepakat untuk moment berrahmat ini. Apalagi natal adalah perayaan iman yang wajib kita rayakan. Dari sana asal muasal keselamatan lahir.

Saudara,

Pasti bahan bahan kue dan baju baru yang sudah kalian beli untuk berkumpul bersama sanak keluarga menjadi mubasir. Kebahagiaan kalian seakan dirampok oleh kesombongan kebijakan para orang hebat di daerahmu. Sedih memang.

Tapi hukum agama kita ternyata sudah memprediksi hal ini bakalan terjadi. Bahkan kita disabdakan untuk mampu memikul salib, bukan? Sadis memang. Berat. Sedih. Pilu. Tercabik-cabik. Namun, hanya melalui pintu yang sempit itu kita mendapatkan keselamatan.

Kisah kalian adalah pilu bagi seisi ruang jiwa seluruh umat Nasrani dan Kristen pada umumnya. Di Indonesia ataupun di seluruh dunia. Tapi, apalah daya kalian disana. Minoritas. Seperti dijepit. Yah, terjepit.

Ada satu hal, saudara.

Tentang larangan mereka itu mungkin ada benarnya. Maksud saya, ada hikmahnya. Bahkan ada refleksinya.

Begini. Saya menangkapnya demikian:

Ada banyak orang yang berkumpul secara berjemaah untuk merayakan Natal. Bahkan mengalahkan orang yang berkumpul di Monas saat dema demo dua satu tiga itu. Tapi nuansa perayaan-perayaan mereka bernuansa simbolik saja. Atau hura hura. Atau berkonsentrasi untuk perayaan duniawi. Sementara ada satu dua keluarga di penghujung negeri yang jauh dari gereja, sentuhan pembangunan, akses sarana dan prasarana, infrastruktur, mereka selalu merayakan natal di rumah mereka. Dua tiga orang berkumpul. Khusyuk. Damai. Mungkin hanya cahaya sepasang lilin dan pelita. Tanpa kue. Tanpa baju baru. Tanpa lampu. Tanpa musik.

Saudara, situasi seperti ini hampir punah. Tetapi Tuhan tetap menampilkan suasana sederhana seperti ini, hanya untuk menceritakan bahwa dulu ketika Ia lahir di dunia yang fana ini, begitu sulit dan susah dilalui. Bahkan kandang binatang sangat empuk jadi istanaNya.

Nah, pelajaran atau hikmah apa yang diterima?

Tanpa menyampingkan fungsi gereja sebagai tempat kita bersatu untuk beribadah, mungkin kali ini, saatnya melalui natal sembari mengalami apa yang Yesus alami ketika datang ke dunia ini. Tak ada yang menerima mereka. Susah. Sedih. Ditolak. Bahkan harga diri ditelanjangi.

Lalu, apakah iman kita goyah, saudara?

Se jengkal pun tidak.

Tetap kuat saudara saudaraku. Masuklah kedalam rumah. Tutup rapat-rapat pintu rumahmu. Tak usah nyalakan lampu. Buang saja lampu kelap-kelip yang telah kau beli. Nyalakan sepasang lilin. Satu untuk rayakan Natal. Satu untuk berdoa bagi kematian jiwa para pemimpin mu.

Eh, ada kopi di dapur? Itu menu terbaik untuk natalmu. Tak usah gunakan teh. Ataupun pemanis sejenisnya. Karena saat ini segala bentuk kepahitan adalah jadi obat untuk jiwamu.

Tetap merdeka dalam rayakan Natal bersama secangkir kopi. Ingat, ada Tuhan dalam secangkir kopi!!! Jangan seruput. Minumlah diam diam. Karena tiap tegukan adalah doa bagi harimu. Jiwamu. Jiwa kita: Alfa omega.

Selamat natal Indonesia Raya. Bahagia abadi jiwa kalian para pemimpin. Terang kekal semoga menyinari...

🌵🥀🥀☕🍂🍀

By Rian Seong, S. PD. MM
Guru biasa. Dari NTT, negeri sejuta damai dan kopi...
🇮🇩☕

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERUMUNAN JOKOWI vs KERUMUNAN RIZIEQ vs COVID-19

LULUS YANG BAHAGIA WALAU HATI MENANGIS

MAMA MAMA BERBAJU BIRU||SEBUAH BALADA 60 TAHUN